Nasihat:Tentang Orang Yang Berilmu, atau yang bergelar Syeikh, Habib, Kiai dan sebangsanya
Rabu, 04 Januari 2017
Tambah Komentar
Kau telah mempunyai ilmu tentang sejarah, tentang sosiologi, tentang geografi, tentang pembacaan sejarah kemanusiaan, tentang struktur keilmuan, harusnya engkau tidak usah risau dengan hal-hal tersebut, Taufik. Apalagi sibuk dengan diksi-diksi tersebut. Ingatlah, mereka juga manusia. Mereka itu punya manusia.
Orang yang berilmu, statusnya dibanggakan orang-orang: tidakkah engkau katakan itu kewajaran? Hal yang wajar—bahasa lainnya telah dipastikan, atau telah tertakdirkan—karena mereka bersibuk dengan sesuatu yang berilmu dan mereka berjuang-keras untuk keilmuannya? Engkau telah melihat bagaimana prosesnya mereka meraih ilmu: bukankah itu bukan perkara yang ringan? Itu pun perkara yang juga disertai godaan, taufik.
Tidak serta merta mereka langsung diklaim atau mendapatkan gelar tersebut, taufik. Tidak serta-merta. Bila pun mereka dari kalangan orang-yang-berilmu, maka tentu itu perjuangan bapaknya, perjuangan buyutnya, perjuangannya nenek-moyangnya: beruntunglah orang-orang yang mempunyai tradisi keilmuan, beruntulah orang-orang yang berada dalam tradisi keilmuan. Mereka sibuk dengan perkara ilmu, sibuk dengan perkara teks, sibuk dengan jalinan orang-orang yang pandai.
Mereka sibuk dengan data-data pengetahuan. Alasannya, karena mereka telah diklaim ‘perkara’ untuk keilmuan, karena orang-orang disekitarnya mendukung supaya sibuk dengan keilmuan, kalaulah tidak, maka kelak, mereka—anak-anak yang bergelar kemuliaan itu—akan tertantang keras untuk melatih itu: jika tidak, maka mereka adalah orang yang tersesat, orang yang menyesat: apakah itu orang yang tersesat? Tersesat dari jalur keilmuan. Akhirnya mereka memilih perkara yang lain, yakni dunia.
Agaknya perkara hidup, ukurannya, kalau tidak sibuk dengan ilmu, maka sibuk dengan dunia alias harta. Agaknya itu adalah kepastian. Ilmu ke harta, tentu itu pun kurang bagus, namun setiap orang yang berilmu pastilah akan didatangkan keharataan, artinya harta itu menjadi godaan bagi orang yang berilmu. Bahkan godaan bisa juga atas nama kehartaan: hasilnya, si pemilik itu menjelma rakus. Pemilik ilmu menjelma ingin menumpuk pundi-pundi keduniaan. dan kenalilah, hal ini sungguh sangat lembut sekali. Adakalanya orang tidak mengetahui kalau dirinya ditugrub-kehartaaan. Oleh karenanya, penting untuk intropeksi diri.
Adakalanya orang yang berilmu juga tergoda atas-nama. tergoda ingin menguasai, dan tergoda bahwasanya mereka diklaim orang yang berilmu-tinggi dan kalimatnya harus menjelma sabda: ini pun godaan, taufik: godaan bagi orang yang berilmu. Bukankah hari-hari ini engkau menjelma seperti itu? seakan-akan mentang-mentang engkau berilmu (walau masih sedikit) seakan ‘kebenaran’ adalah milikmu? Seakan kalimatmu harus di iyakan dan bahkan diaminkan. Sungguh, ini adalah perkara lembut, taufik.
Saranku, engkau harus sentiasa mawas-diri. Sibukkanlah dengan dirimu, sibukkanlah dengan keilmuanmu. Jangan bandingkan keilmuanmu dengan orang-orang yang memang berstatus orang-orang hebat. kenalilah, orang hebat itu karena dia terus menerus mengulang pelajaran. Oleh karenanya, diksi di indonesia, seorang guru kerap disebut ‘mulang.’ Diksi itu, khususnya berada pada orang-orang jawa. Atau orang-orang yang berilmu pada tataran keagamaan. Sebabnya kenapa taufik? Jawabnya, karena mereka mengulang-ulang kajian yang sebenarnya telah dipelajari. Apa itu yang diulang-ulang: tentang pelajaran. Pelajaran apa? Tentu tentang keislaman. Apa orientasi keislaman? Adab atau etika atau akhlak.
Itulah mereka, taufik. Semakin tinggi orang-orang yang berilmu: atau gelar-gelar itu, maka mereka berjuang keras untuk berakhlak yang mulia, terdukung oleh pertemuan yang mulia. Pekerjaan yang mulia. Dan aktifitas yang mulia. Itulah mereka, taufik. Oleh karenanya, tatkala kamu bertemu dengannya, upayakanlah untuk memuliakan mereka, dengan cara ‘kamu’ bersopan santun. Sopan santun yang seperti apa? Seperti apa yang engkau ketahui. Aku tahu kamu mengetahui. Aku tahu kamu sangat memahami, cara berakhlak yang mulia.
Sekarang, bagaimana kiai kampung?
Kiai kampung pun berusaha menurut kemampuannya, Taufik. Berjuang keras untuk menjalankan akhlak yang mulia. Dan perjuangannya itu, tentu, tidak mudah Taufik, bisa jadi lebih berat daripada orang-orang yang mempunyai perkumpulan ilmu-pengetahuan: sebab mereka berkumpul dengan kapasitas ilmu yang berbeda-beda, namun jika kiai kampung berjuang keras, sangat keras untuk berakhlak yang mulia, tentunya, masyarakat disekitarnya akan berusaha untuk mengormatinya.
Saran buatmu, Taufik: tetaplah engkau hati-hati dengan perkataanmu. Tetaplah engkau menjaga aklak yang mulia. Kalau merasa berat, diamlah. Jangan ditimbrung pembicaraan orang-orang secara langsung. Kenalilah taufik, orang yang berilmu itu, lebih banyak sibuk dengan keilmuannya: apa itu keilmuan? Yakni belajar, belajar, dan menyempurnakan ajarannya.
Mengertilah…
Belum ada Komentar untuk "Nasihat:Tentang Orang Yang Berilmu, atau yang bergelar Syeikh, Habib, Kiai dan sebangsanya"
Posting Komentar