FILSAFAT NUSANTARA: Alasan-Alasan Menjadi Akulturasi Kebudayaan Yang Mengaburkan Identitas-Bangsa
Selasa, 10 Januari 2017
Tambah Komentar
1. Pendidikan
Dari sector pendidikan (penekanan) untuk melangkan kehidupan, dianjurkan untuk menggunakan bahasa-indonesia—sementara bahasa keseharian adalah bahasa selain Indonesia, dan keseharian menggunakan tradisi bukan ‘kenusantaraa’; yakni, tradisi jawa dan arab. Pendidikan mengarahkan menjadi tradisi eropa, sarat dengan sains, sarat dengan objektifitas.
Sebagian pengajar, menekan ketat untuk objektifitas. Sebagian lain mengendur tentang objektifitas, terjadilah timpang-tindih tentang objektifitas dan subjektifitas.
Pendidikan menjadi sebuah ‘jalan’ untuk melangsungkan hidup. Pendidikan tetap dilangsungkan, alih-alih demi kemaslahatan bersama. Alih-alih untuk menjadikan hidup yang bahagia. Alih-alih menjadikan dalil untuk mengisihi ‘kehidupan’.
Seringkas kata, pendidikan mulai menjelma multi-fungsi, walau pada dasarnya tetap sama, menjadi manusia pekerja, kaum pekerja. Tujuan pendidikan adalah untuk kerja. Menempati pekerjaan yang mulai dan berwibawa. Mendapati pekerjaan yang lebih layak dibanding sebelumnya: yakni tani.
2. Tradisi kemasyarakatan: Kaum Pekerja (kaum materialistic)
Tradisi kemasyarakatan berorientasikan kepada kerja. Untuk mempertahankan kehidupannya. Mempertahankan hidup dihamparan bumi. Oleh karenanya harus bekerja—hal ini pun didukung kuat dengan alam, yang menyediakan untuk melangsungkan hidup yang serba praktis, yakni melangsungkan pertanian, perdagangan, dan jangan lupa ibadah.
Sehingga generasi selanjutnya (saya) diasupi untuk hal-hal itu, sekali pun saya berada dalam ranah ‘intelektualitas’ yakni ranah-ranah pencarian ilmu. Tujuan pencarian ilmu, dianggap sebagi upaya untuk sisi ‘pekerjaan’, mendapatkan kedudukan yang terhormat di mata masyarakat, dan gencar dengan dunia ‘ilmu’—dunia sains.
Padahal sejauh kita tahu, untuk menjdi manusia sains, orang harus rajin membaca, artinya membaca adalah sibuk dengan belajar. Artinya lagi, harus sibuk dengan sesuatu yang secara terus menerus dipelajari.
Dalam hal ini, saya mengikuti tradisi eropa: teori dari keeropaan terhadap sains, terhadap perolehan sains. Yang mana, setiap individu harus konsentrasi terhadap suatu mata-pelajaran yang didalami, dan kemudian, menjadi pembaharuan dalam hal tersebut. Artinya, menseting anak sejak dini, demi tujuan kelak, yakni menjadi manusia-ilmiah demi mencukupi kebutuhan hidupnya.
Namun yang terjadi pada saya, adalah hal yang berbeda. Sekolah menjadi rutintitas, dan mental pekerja masih melekat pada saya, dan satu lagi—yang tidak kalah penting—sisi religious: mengakar kuat juga pada saya.
3. Tradisi Religius.
Yang dikoar-koarkan kaum modern adalah melesatnya sains. Telah saya kemukakan di atas, apabila ingin menjalani tradisi intelektual yang kuat, maka penting untuk mendidik anak sejak dini: menekan anak sejak dini untuk kepentingan sains. Jika melihat bangsa-eropa yang ditekan dengan hal itu: maka yang terjadi adalah, sarat dengan nilai-nilai:
Individualis.
Kapitalis.
Kebebasan-individu.
Materialistis.
Sebab hal itu mengacu pada teori positivistik, Auguste Comte: status agama memang ada, namun dialihakan. Yang terjadi adalah hukum-positive—sekali pun pada akihirnya auguste comte menekankan ulang terhadap moral, dan bahkan ia mengaku menjadi ‘nabi’ karena teks-teks kemoralannya tersebut: itu bertanda bahwa Auguste Comte menyadari bahwa mau tidak mau kalau manusia gencar terhadap teori positivistic akan terjadi penurunan moral.
Begitu juga dengan filsuf lainnya, Nietzsche, yang pada akhirnya adalah tentang kemoralan dan perakuan menjadi ‘Nabi’ tentang kemoralan: karena efek-efek dari modern. Seringkas kata, mempercayai bahwa ‘keagamaan’ sangat diperlukan, namun tidak mudah mengklaim keagamaan karena system-kehidupan telah payah untuk mengklaimkan tentang keagaamaan, karena memang ‘keagamaan’ telah ada, dan telah berkesistensi.
Sementara di nusantara, dalam tataran sejarahnya, adalah manusia religious, dukungan kuat karena memang sejak dulu adalah percaya hal-hal yang mistis (rahasia) alam: maka para peneliti, mengklaim bahwasanya dahulu kala, nusantara beraliran Animisme, Dinamisme: yang utamanya adalah menyandarkan pada alam. Hal itu terjadi karena memang alam berbuat seperti itu: alam mendukung untuk menjadikan hal mistis.
Saya telah mengungkapkan sebelumnya, tentang pengaruh alam menjadikan hal mistis. Yakni, bunyi-bunyi menjadi tanda-tanda dari apa yang dilihat. Dan tatkala malam tiba, bunyi-bunyi tersebut menjadi tanda yang diobjektifkan kepada pikiran: lalu individu membuat gambaran tentang hal tersebut menjadi serangkain gambaran yang awut-awutan, maka muncullah diksi-diksi tentang keseraman, keangkeran, menakutkan dari alam.
Kepala berwujud anjing.
Mulutnya berwujud burung-gagak.
Suaranya berwujud burung-hantu.
Bola-matanya berwujud kukang.
Tubuhnya adalah babi.
Kakiknya adalah ayam.
Hal itu adalah contoh ringkas, dari pendapatan (pengaktifan panca-indera) dan empiri (pengalaman). Semkin lama, maka hal-hal itu terjadi ada. Hingga akhirnya, berefek pada film-film yang ada di Indonesia. Film-film hantu di Indonesia, sangat berbeda dengan film-film hantu yang ada eropa: kenapa demikian? Karena kondisi-alam yang berbeda.
Bersamaan dengan hal tersebut, kepercayaan akan hal tertinggi semakin menjadi: proses dari agama hindu-budha, melesat tajam di nusantara. Bisa jadi, karena tawaran tersebut adalah bertingkat-tingkat, berbeda status sosial, sesuai dengan status kerajaan: ada prajurit, ada menteri dan ada rajanya.
Status keagamaan melesat tajam. Sekali pun backgrone utama agama hindu-budha adalah kaum zuhud, kaum pertapa. Namun tetap saja, sangat cocok. Tugas pendeta adalah mengingatkan orang-orang tentang keagamaan. Seringkas itu. Dan semakin orang mendalami keagamaan—hindu-budha—maka penting menjauhi dunia (zuhud).
Ketika agama-hindu-budha sukses di nusantara, selanjutnya, agama islam datang: agama islam datang dari arah ketasawufan, yakni arah-arah hati. Sehingga melesat tajam di nusantara: bukti arah ketasawufan Indonesia bisa dilacak dari ulama-ulama Indonesia, yang berorientasi pada ‘inti’ bukan pada ‘eksistensi’. Tekanan tasawuf adalah ‘hati’ bukan pada ‘jasad’. Terlebih lagi, ini melesat tajam, karena ada kecocokan dengan agama hindu-budha, namun tetap saja berbeda: sebab dalam ranah keislaman, ada anjuran untuk eksistensi lebih: yakni tentang kefikihan. Praktek keagamaan. dari pratek keagamaan, untuk menyempurnakan keislaman, maka didirikanlah pondok-pondok pesantren dan berdatangan orang-orang dari kearaban di Indonesia:
Membawa tradisi kuat keislaman, kearaban.
Berorientasi kepada fikih –hal-hal penampakan.
Mengulang pengetahuan alat-bahasa, demi kepentingan kesempuran muslim nusantara.
Ringkasnya, keagamaan melesat tajam: dari keagamaan, keriligiusan, menjadi suatu elemen yang kuat bagi manusia Indonesia. Sebab tujuan agama adalah untuk kebaikan.
Kesimpulan
Dari proses ketiganya, menjadi tekanan yang kuat pada manusia-indonesia: satu mengarah ke baratan, satu mengarah watak-asli kemanusiaan, dan satu mengarah ke arah ketimuran. Bersamaan dengan itu, kekaburan ‘identitas’ menjadi jelas: bukan timur, bukan barat, bukan juga kedaerahan: melainkan keindonesiaan!
Efeknya:
Bukan timur, namun ketimuran—dari sini terjadilah pencarian dasar yang kuat tentang ketimuran.
Bukan barat, namun kebaratan—dari sini terjadilah pencarian dasar yang kuat tentang kebaratan.
Bukan kedaerahan, namun kedaerahan—dari sini terjadiah pencarian dasar yang kuat dari kedaerhan.
Akibatnya, Indonesia: sebagaimana semboyan awalnya: tetap menjadi bhineka tunggal eka (bermacam-macam tetap satu), penyatuan tersebut atas nama ‘Negara’, yang sebenarnya seperti apa yang sudah saya paparkan, tidak bisa menyatu
Belum ada Komentar untuk " FILSAFAT NUSANTARA: Alasan-Alasan Menjadi Akulturasi Kebudayaan Yang Mengaburkan Identitas-Bangsa"
Posting Komentar